Atas Nama Hujan yang Maha Menenangkan


Untuk kamu.

Selamat sore.

Hari ini harusnya aku nge-date sama Kafi, sepupuku yang masih SD di Taman Cerdas, tapi urung teradi karena kota ini sedang diguyur hujan, dua kali. Pertama, sekitar pukul 15.00 WITA namun hanya sebentar. Yang kedua, sekarang. Saat aku menulis surat ini untukmu.

Mungkin kau sadar akan hujan, tapi tak mengingat secara detail mengenai bulir-bulir hujan yang sedang berlomba-lomba turun ke bumi. Menurut pengamatanku, kau tak terlalu menyukai hujan. Karena masih hangat di ingatanku kau buru-buru berteduh dan membuatku lama menunggumu untuk ke tempat tujuan kita. Berbeda denganku yang sangat menyukain hujan dan sering rela pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup padahal di jok mototku selalu tersedia jas hujan. Baiklah, itu masih bisa kutoleri, asal kau tak terlalu protes jika aku lebih memilih melihat hujan di balik jendela ketimbang mendengarkanmu bercerita.

Oke, untuk kalimat terakhir, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku mengalihkan perhatianku padamu. Selain karena mendengarmu bercerita itu sangatlah jarang terjadi, aku juga mendapatkan kenyamanan dan ketenangan berlipat dua. Tak perlu kuperjelas makna dari tulisanku ini. Kau tak terlalu bodoh untuk mengerti maksudku.

Tapi, kuharap kau tak seperti hujan yang sebentar lagi akan surut ini. Tetaplah memberi rasa aman dan nyaman kepadaku walau hujan tak sedang berada di antara kita. Tetaplah menghujaniku dengan ‘dinginmu’ walau kepalaku sedang mengepul panas. Karena kamu itu lebih dari sekedar sisi Pluviophile yang gemar menghirup Petrichor dalam diriku, Cynefin-ku.

Selamat menyeduh kopimu.

Leave a comment