Penghujung Serangkaian Surat (Cinta)


: Siapa saja yang merasa menjadi subyek surat ini.

Tak terasa jika hari ini merupakan hari terakhir dari #30HariMenulisSuratCinta. Padahal, rasanya seperti baru kemarin aku kelimpungan mencari sumber inspirasi untuk menulis surat setiap harinya. Aih, memakai rasa memang selalu begitu. Apasih.

Oke, maafkan segala ketidak-jelasanku dalam merangkai kata-kata untuk kau baca. Kau tau sendiri jika moodku sedang tidak baik itu akan menunjang tingkah lakuku dalam beberapa jam ke depan. Kecuali, ada sesuatu yang bisa membuat aku sedikit membaik seperti Choki-Choki sekotak, makanan yang sekelebat melintas di kepala, musik, buku dan kamu. Empat poin awal memang mudah untuk didapat, kalau yang terakhir? Blah.

Sebagai tipe orang yang pasif-agresif, aku ini memang orang yang paling banyak menyia-nyiakan kesempatan. Mau tapi malu. Kadang aku mengutuk kelakuanku yang ini, karena pada akhirnya aku akan capek sendiri. Tapi ya mau bagaimana, aku masih terlalu takut untuk mengekspresikan semua. Payah kan?

Makanya sampai sekarang aku mengkamuflase perasaanku terhadapmu. Walaupun hal itu menyakiti diriku sendiri, tapi hal itu untuk sementara lebih baik daripada aku harus kehilanganmu di sekitarku. Egois memang, karena aku takut kehilangan. Seperti yang pernah kuceritakan pada suratku terdahulu, aku mengulangi kesalahan yang sama: mencintai tapi tak mengatakan. Sebuah kisah tentang seseorang yang dulu pernah memiliki tempat tersendiri di hati yang kemudian perlahan menjauh ketika tahu perasaannya kepadanya itu lebih daripada sekedar teman. Hal itu terjadi lagi kepadaku, kali ini kau subyeknya.

Kau tak tahu rasanya harus menyabarkan diri untuk berada bersamamu. Kau suka ramai, aku suka sepi. Aku suka hujan, kau membencinya. Kau menyukai ilmu pasti, aku menyukai sastra. Terlalu banyak pertentangan sana sini yang membuat kita seringkali ngotot mempertahankan pendapat mengenai apa yang kita amini, namun ada kalanya kita sama-sama membangun suatu kesimpulan yang sama dan sama-sama tersenyum atas apa yang kita sepakati. Hal itu yang membuat aku tak bisa jauh-jauh darimu. Hal-hal seperti itu yang membuatku selalu rindu kepadamu

Aku tak tahu kapan aku akan berani mengatakan semuanya padamu. Yang pasti, aku akan terus merangkai-rangkai aksara yang kuharap dapat membuatmu sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikanmu diam-diam. Bagaimana hal itu akan terjadi nanti, aku menyerahkan segala daya kepada semesta yang dulu berhasil mempertemukan kita. Semoga kali ini ia dapat bekerja dengan baik.

Selamat memahami surat terakhirku ini,

Pengolah ulah.

Perihal Hujan, Petrichor dan Pria Pengeluh


: Rabiatul Awaliyah

Selamat sore.

Senang rasanya mendapatkan sepucuk surat dari seseorang yang belum pernah ditemui sebelumnya. Tak lupa kuucapkan terima kasih atas suratmu kemarin. Aku kira, aku tidak akan mendapatkan surat, ternyata ada seseorang yang membaca suratku beberapa hari yang lalu dan mempunyai persepsi serupa mengenai hujan, Petrichor dan pria-pria yang seringkali bersebrangan pendapat dengan hal yang kita sukai.

Hujan memang mempunyai daya magisnya tersendiri di antara fenomena-fenomena alam yang lain. Selain hujan, aku menyukai senja, malam dan bintang yang berpendar terang di semerbak kelam. Tapi, tak ada yang bisa membuatku duduk terpaku, menghirup udara dalam-dalam dan menjelajah memori masa lalu. Rasanya tubuh dan pikiran dikendalikan olehnya. Apakah kau juga merasa begitu?

Benar katamu mengenai orang yang tak menyukai hujan memang selalu berhasil membuat yang mencintai hujan jatuh cinta. Aku merasakannya sekarang. Dia membenci hujan karena ia tak bisa bebas leluasa menjelajah semestanya. Tapi, biarpun dia begitu, aku merasakan rindu dalam setiap helaan napas yang membuatku hidup. Walaupun aku tak tahu pasti, rasa jenis apa yang dihirupnya. Yang jelas, aku merasa bahagia bila aku dan pria itu terjebak dalam hujan. Setidaknya, rintik-rintik yang turun ke bumi itu mampu merekam setiap detil yang kami lakukan, memupuk benihnya di tanah dan akan kembali naik menjadi awan yang kemudian menguar ketika hujan datang kembali di lain hari.

Bagaimana dengan priamu? Apakah dia lebih menyebalkan dibandingkan dengan priaku ini? Aku harap priamu mampu mengerti kecintaanmu terhadap hujan, walaupun dengan perlahan. Tetaplah membuatnya belajar memahami.

Semoga suatu saat nanti kita dapat bertemu. Karena setelah aku cermati, kita hanya berjarak waktu +/- 1,5 jam untuk dapat bertemu. Entah kamu yang bertamu ke kotaku, atau aku yang akan bertamu ke kotamu. Biarlah semesta yang menentukan itu semua.

Salam,

Perengkuh Hujan.

Yang Suka Bikin Rahang Sakit


Untuk pemilik akun @UVedoy di linimasa.

Halo! Perkenalkan, namaku Annisa Maharani. Kau boleh memanggilku Anis, An atau apapun yang kamu mau asal jangan manggil sayang. Bahaya, ntar banyak yang nyinyir.

Aku pertama kali membaca tulisanmu saat kamu nulis surat cinta buat Adimas Immanuel. Dan itu kampret banget. Sumpah. Soalnya, di awal alinea pertama aja aku gak bisa nahan ketawa dan ga berenti sampai suratmu buat dia berakhir. Aduh, kamu lucu banget! Dan mulai dari situ, aku mulai baca-baca tulisanmu sebelumnya, dan ngakak juga. Astagfirullahuladzim.

Tapi, aku belum sempat baca surat cinta-surat cintamu yang lain sejak saat itu karena aku udah mulai masuk kuliah lagi dan langsung dihadepin sama tugas sana-sini. Tapi aku gak pernah bolos buat nulis cinta kok untungnya. Janji deh, abis aku nulis surat ini aku kepo-in blog kamu lagi. Boleh ya? Mumpung dapat libur sampai Senin nih. Atau mau kusogok sekotak choki-choki? Tapi bayar ongkirnya yah.

Nah, berhubung surat hari ini bertema khusus, awalnya aku bingung ingin mengirim surat untuk siapa. Baru jam 18.00 WITA ini, aku mutusin buat ngirim surat ke kamu. soalnya tadi ada Kak Dimz seliweran di timeline pas aku baru nyampe rumah, hehe.

Oh ya, aku baru aja follow kamu di Twitter. Trus, aku liat bio-mu. Di situ, tertera kalau kamu penyair magang di @MalamPuisi. Wah, kita ada kecocokan! Kebetulan, aku bareng teman-teman yang lain jadi pengurus di @malampuisismr_. Ntar, kalau waktu mengizinkanmu singgah ke Kota Tepian, kabari aku ya. Nanti aku ajak jalan-jalan dan ketemuan ama anak-anak sini.

Tetap semangat menulis ya. Biar aku bisa ketawa terus membaca semua tulisanmu. Maaf jika kau nanti agak bingung membacanya karena alurnya (menurutku) loncat-loncat. Namanya juga udah mau jam deadline.

Salam,

Anis.

Politik Kebut Berhari-Hari


: Teman-teman kelompok iklan politik mata kuliah Komunikasi Politik yang tak terhingga jumlahnya.

Sore, gaes.

Alhamdulillah banget aku masuk di kelompok iklan politik yah, sesuatu. Aku mikirnya kalo aku masuk di propaganda politik, bakal susah banget nyatuin berpuluh kepala untuk menghasilkan satu lembar seruan dan ajakan politik. Ya, mungkin juga ini udah takdir buat kita disatuin jadi kelompok ama Bu Nurliah pada Senin lalu.

Kita dikasih deadline satu minggu buat ngerjain tugas, sebebas-bebasnya. Tapi rapatnya baru hari ini huahahaha. Untung aja Pak Gandi cuma masuk bentar jadi waktunya bisa dipake buat rapat. Setelah runding sana runding sini, aku masuk di tim kenseptor dengan 8 orang lain, trus ada jobdesc ketengan satu: bikin logo partai bareng Ara.

Make Corel aja aku kagak bisa! :)) Tapi gak papa lah, nyobain yang baru. Padahal ini konspirasi aku ama Ara, tapi konspirasinya batal, jadi ntar malam beneran ngerjain berdua. Ara juga ga bisa make Corel, tapi ada aplikasi gantiannya ama dia. Mudahan entar lancar ya. Doakan :3

Semoga proses shooting iklan kita lancar ya, gaes. Biar nilai kita bagus. Tapi inti dari semuanya sih semoga kita dapat bekerja sama dengan baik. Woof you all!

Samarindaku Sayang


Dear, kota yang seburuk apapun, tetap kusebut sebuah rumah.

Hari ini panas sekali. Dimulai ketika lagi kuliah, listrik di kampus jeglek nyala-mati-nyala-mati gak jelas. Kata Bapak yang jaga Koperasi, lagi ada yang seminar, dan ruangannya menggunakan AC. Okedeh, apa kabar puluhan ruangan kelas lain yang sebagian menggunakan AC dan sebagian lagi menggunakan kipas angin yang sedang belajar menggunakan LCD Projector? Padahal aku udah ancang-ancang ngambil kursi di depan kipas angin putar biar anginnya kerasa. Tapi… ya gitu deh.

Selanjutnya, setelah pulang kuliah, matahari sedang bersinar dengan teriknya. Duh, malas banget balik jam segini. Tapi, namanya pengen lenjeh-lenjeh di kamar, jadi aku balik deh. Di pertengahan jalan, aku lupa orang rumah nitip beli makan. Alamat kudu puter jalan deh. Sepanjang jalan menuju rumah makan itu udah kayak lari marathon: panas, keringatan, gerah, padahal naik motor. Mana nunggu makanannya lama bener. Untung di sana aku ketemu dengan teman satu kelas, mayan lah ada temen ngobrol.

Samarinda, cuaca yang panas memang udah melekat di dirimu. Tapi semakin hari kok semakin panas. Kamu butuh banyak pohon ketimbang banyak membuka lahan tambang dan pusat perbelanjaan yang sebenarnya tak terlalu dibutuhin. Mending uangnya dipake untuk memperbanyak transportasi umum dan  ruang publik. Kamu memang butuh berkembang, tapi jangan lupa untuk selalu imbang antara pembangunan. Yang aku cermati, udah ada tiga lapangan bola, yang dulunya dipakai oleh Sekolah Sepak Bola, yang sekarang sudah rata dengan tanah dan menjelma menjadi lahan pembangunan dan yang paling kubenci… Taman Lampion. Aku gak butuh Taman Lampion kalau hanya sekedar membuang-buang listrik. Akan lebih bermanfaat kalo dibikin sarana olahraga gratis.

Hampir 20 tahun aku berpijak pada tanahmu dan aku masih menerima segala adamu. Setidaknya aku masih menikmati hidup di kota yang sering macet, banjir dan seringkali latah oleh budaya barat tanpa mempedulikan budaya lokalnya. Ingin sekali aku mengubahmu menjadi kota yang Teduh, Rapi, Aman dan Nyaman, sesuai dengan sloganmu. Tapi, aku masih belum punya cukup ilmu untuk mengaplikasikannya. Setidaknya aku sudah berani untuk menulis surat ini. Mungkin, di kesempatan lain, aku akan mencoba untuk menulis surat kepada Pak Ja’ang atau Pak Awang Faroek.

Sore ini akan kunikmati tanahmu dengan duduk di Taman Cerdas yang dulunya PKK Skatepark. Semoga ketika malam menjelang, lampu-lampu di sana udah gak mati lagi. Padahal kalau malam di sana enak banget buat nongkrong, pohon-pohonnya juga lumayan banyak, jadi adem.

Semoga kau bisa berbenah ke arah yang lebih baik, kota tercintaku.

Yang Merindu Tenang


Hai, kamu!

Beberapa hari ini moodku sedang gak karuan. Kadang lenjeh-lenjeh, kadang nyebelin, kadang nyinyir sana sini, Ya gitu deh. Mungkin karena faktor PMS, mungkin juga karena faktor yang lain. Aku aja bingung. Blah.

Kadang emosiku meledak karena hal-hal kecil, dan itu bakal berkelanjutan beberapa jam ke depan. Kata orang emosi yang kayak gini bisa dibilang labil. Ya, aku sih menganggap gitu juga. Apalagi kata orang-orang aku perajuan, kalah-kalah ibu kos.

Sebenarnya, ada beberapa hal yang sesadarku bisa meredam emosiku: coklat, lagu, tidur dan seseorang untuk berbagi. Untuk poin terakhir, masih aku cari. Karena, beberapa waktu belakangan ini orang-orang yang terhitung dekat denganku seperti bersengkongkol untuk menjauhiku. Ini hanya asumsiku aja loh ya, gak tau deh aslinya gimana. Tapi, ya… aku merasa sepi. Dan di dalam sepi itu terlalu riuh, terlalu ribut, hingga aku gak bisa berpikir dengan jernih, terlalu banyak mengambil beberapa keputusan terlalu dini, sampai konsentrasi yang sering buyar. Semalam aja, aku beberapa kali salah masuk chat room dan berimbas pada pesan salah tujuan. Betapa kalutnya.

Aku butuh kamu. Aku butuh kamu untuk menenangkan kalutku. Aku butuh kamu untuk meredam emosiku. Aku butuh kamu untuk membantuku menyelesaikan semua. Kau tau sendiri kan lingkungan pergaulanku seperti apa? Bisa kau rasakan tekanannya bila nanti sekali dua kali kau kuajak kumpul dengan mereka. Jangan kapok. Kelak, jika kau nanti bersamaku, kau akan lebih sering berada di kondisi seperti itu. Tetap temani aku, ya. Aku mohon.

Yang merindu tenangmu.

Pacar Baru


Untuk teman-teman Earth Hour Samarinda.

Selamat sore.

Sebelumnya, terima kasih ya sudah mengundang teman-teman dari Malam Puisi Samarinda untuk datang ke acara nonton bareng “Trashed” dan diskusi lingkungan dalam menyambut Hari Peduli Sampah. Tapi sayang, beberapa teman gak bisa hadir, jadi cuma aku aja yang jadi perwakilan. Mungkin karena kemaren adalah Sabtu malam? Oke, gak perlu lah bahas-bahas itu, bikin ngilu.

Aku kira aku telat karena aku telat beberapa belas menit dari waktu yang tertera di undangan, sekalinya ada Bang Boim ama Bang Reza masih betungguan di bawah. Abis basa-basi bentar, disuruh naik ke atas ama abang-abangnya. Yaudah deh.

Ternyata pemutaran filmnya jam 8-an gitu, sekalian nunggu yang lain datang. Jadi, sebelum nonton, aku sempat kenalan dulu ama teman-teman yang udah ada di sana. Tapi, aku mau minta maaf dulu sebelumnya kalo nanti kita ketemu lagi, karena aku bakal lupa nama kalian T_T tapi tapi tapi, kalo kita sering ketemu, aku bakal ingat kok, serius.

Berhubung durasi filmnya lama, jadi dipotong-potong gitu. Padahal pengen nonton full. Mungkin juga itu kode buat ngadain nobar lagi abis ini. Mungkin loh yaa. Tapi, semuanya dibalas dengan ngadain games dan ice breaking yang asik abis. Nah, ini!

Aku senang banget loh bisa menangin games pertama, soalnya aku bisa dapat pacar baru! Iya, pacar barunya itu tumbler unyu, reusable bag dan pulpen 😀 Jadi, selain aku bisa mengurangi penggunaan kantong plastik, tumbler-nya juga bisa buat diisiin sop buah atau salad atau infused water soalnya muatnya banyak!

Makasih banyak ya teman-teman Earth Hour Samarinda, semoga aku bisa ngikutin kepedulian kalian terhadap lingkungan. Aku tunggu acara-acara selanjutnya biar kita makin akrab lagi. Sampai jumpa!

Anis.

Surat Kecemasan!


Selamat sore, kamu dan segala yang ada di sekitarmu.

Kamu tahu, apa yang lebih mencemaskan dari mimpi buruk dikejar-kejar nenek sihir dan seluruh keluargamu dibunuh satu per satu yang kamu alami saat masih TK dan sampai sekarang setiap detilnya masih terekam jelas di otak? Baca kata pertama dari awal paragraf ini.

Iya, gak ada yang salah kok dengan surat ini. Seperti kebiasaanku, terkadang aku terbangun tengah malam tanpa alasan yang kuketahui. Kadang-kadang kebangun gara-gara pengen pipis, kadang-kadang kedinginan, kadang-kadang ada teman melek sampai pagi, kadang-kadang lagi gara-gara denger orang teriak-teriak, gak taunya suara peserta Masih Dunia Lain. Kampret lah.

Tapi…semua hal tersebut selalu mengkerucut ke arah: stalking! Yeah, I realize that I’m a kind of that stalker, tapi aku gak stalking yang macam-macam. Kadang aku kepoin akun berita, selebtwit, artikel, kamu juga! Hahaha. Oke, aku ngaku :-p Tadi subuh, pas aku baru bangun, aku buka Twitter, trus ngetwit apa gitu aku lupa, males cek tab sebelah. Nah, pas aku scrolling, eh, taunya kamu ada nge-tweet juga. Tapi isi tweet-mu itu loh, bikin penasaran dan cemas datang bersamaan. Gimana nggak, kamu ngetwit sesuatu yang sekiranya bisa ditujukan untuk seseorang. Siapa? Cuma kamu yang tau.

Aku takut tau kalo nanti kecemasanku jadi berlebihan ke kamu. Takut kamu takut. Tapi, cemasku ini benar-benar cemas, kamu harus tanggung jawab, Entah pake kopi, entah pake mie ayam paling enak se-Samarinda atau pake choki-choki sekotak. Pake penjelasan juga boleh. Tapi jangan kelamaan, ntar aku bisa makin aneh nulisnya 😦

Sekian surat ini kutulis. Kau akan tau bagaimana cemasku setelah membaca habis surat ini. Sudah? Jangan lupa hubungi aku setelah ini.

Dari yang mencemaskanmu.

Atas Nama Hujan yang Maha Menenangkan


Untuk kamu.

Selamat sore.

Hari ini harusnya aku nge-date sama Kafi, sepupuku yang masih SD di Taman Cerdas, tapi urung teradi karena kota ini sedang diguyur hujan, dua kali. Pertama, sekitar pukul 15.00 WITA namun hanya sebentar. Yang kedua, sekarang. Saat aku menulis surat ini untukmu.

Mungkin kau sadar akan hujan, tapi tak mengingat secara detail mengenai bulir-bulir hujan yang sedang berlomba-lomba turun ke bumi. Menurut pengamatanku, kau tak terlalu menyukai hujan. Karena masih hangat di ingatanku kau buru-buru berteduh dan membuatku lama menunggumu untuk ke tempat tujuan kita. Berbeda denganku yang sangat menyukain hujan dan sering rela pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup padahal di jok mototku selalu tersedia jas hujan. Baiklah, itu masih bisa kutoleri, asal kau tak terlalu protes jika aku lebih memilih melihat hujan di balik jendela ketimbang mendengarkanmu bercerita.

Oke, untuk kalimat terakhir, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku mengalihkan perhatianku padamu. Selain karena mendengarmu bercerita itu sangatlah jarang terjadi, aku juga mendapatkan kenyamanan dan ketenangan berlipat dua. Tak perlu kuperjelas makna dari tulisanku ini. Kau tak terlalu bodoh untuk mengerti maksudku.

Tapi, kuharap kau tak seperti hujan yang sebentar lagi akan surut ini. Tetaplah memberi rasa aman dan nyaman kepadaku walau hujan tak sedang berada di antara kita. Tetaplah menghujaniku dengan ‘dinginmu’ walau kepalaku sedang mengepul panas. Karena kamu itu lebih dari sekedar sisi Pluviophile yang gemar menghirup Petrichor dalam diriku, Cynefin-ku.

Selamat menyeduh kopimu.

Untuk Bosse


Hallo, Bosse @poscinta.

Terima kasih ya udah nyemangatin peserta #30HariMenulisSuratCinta. Ga terasa ya udah 21 hari. Senang deh rasanya ada project ini. Jadi kepengen nulis mulu hehe. Bosse dan tukang pos yang lain juga harus semangat ya mengantarkan surat-surat cinta yang lain, hehe.

Oh ya Bosse, perihal undangan yang Bosse tulis di sini, maaf banget ya aku gak bisa ikutan Gathering #30HariMenulisSuratCinta. Selain jauh, aku juga sibuk kuliah. Maaf banget. Pengen deh kalo misalnya Gatheringnya itu diadakan per regional. Jadi kesempatan peserta tiap daerah untuk datang itu makin besar. Ya, siapatahu ketemu jodoh. Ehem.

Semoga Gathering nya lancar jaya aman sentosa ya. Jagain kangpos-kangposnya, terutama @gembrit dan @adimasnuel hihihi.

Woof you, Bosse!